Masyarakat Adat Kubu Raya Hadapi Ancaman Perubahan Iklim dan Banjir Tahunan
🌊 Ancaman Perubahan Iklim bagi Komunitas Adat
kalbarnews.web.id – Masyarakat adat Dayak Kanayatn Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, hidup di bawah bayang-bayang bencana banjir yang semakin parah akibat perubahan iklim.
Banjir besar pada Januari 2025 menjadi bencana terburuk dalam sejarah kawasan tersebut. Air meluap hingga 1,5 meter, merendam rumah-rumah warga, memutus jalur Trans Kalimantan, dan melumpuhkan transportasi serta distribusi logistik.
Selama hampir sebulan, warga hidup dalam kondisi darurat. Anak-anak tidak bisa bersekolah, orang tua kehilangan mata pencaharian karena lahan pertanian terendam, sementara persediaan pangan menipis.
“Banjir yang dulu jarang terjadi, kini menjadi rutin tiap tahun dan semakin parah,” ungkap Gulwadi (54), tetua adat, mengenang banjir yang mencapai tinggi kepala orang dewasa.
🚤 Dampak Sosial dan Ekonomi yang Meluas
Ketua adat Amiang (56) menuturkan, lokasi kampung yang berada di jalur Trans Kalimantan memperparah situasi karena banjir memutus akses keluar-masuk desa. Bantuan sulit masuk, sementara warga kesulitan mencari kebutuhan pokok.
Kerugian juga dialami petani karena lahan pertanian dan tanah gambut terendam air dalam waktu lama. “Berkurangnya tutupan hutan memperparah banjir. Air lebih cepat meluap dan lama surut,” jelas Florensius Loren (38), pegawai KPH.
Bagi keluarga kecil, dampak banjir dirasakan lebih berat. Sri Wikensi (42), ibu rumah tangga, mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami kehilangan pekerjaan, anak-anak tidak sekolah, dan banyak barang serta hasil panen rusak,” katanya.
🤝 Gotong Royong Jadi Penopang Harapan
Di tengah kesulitan, pemuda adat tetap berperan sebagai garda terdepan. Franseda (22) menceritakan bagaimana mereka bergantian membantu evakuasi barang, menjaga keamanan, dan saling mendukung.
“Gotong royong menjadi cara kami bertahan menghadapi banjir. Meski sulit, kami tetap berusaha saling mendukung,” ujarnya.
Komunitas adat menilai penanganan pemerintah masih belum optimal. Mereka berharap selain bantuan darurat, kebijakan yang melindungi hutan dan lahan gambut diperkuat untuk mencegah banjir di masa depan.
🌳 Normalisasi Sungai Jadi Prioritas
Kepala Desa Pancaroba, Marulian, menegaskan bahwa banjir di wilayahnya dipicu pendangkalan sungai dan pembukaan lahan perkebunan sawit.
“Pembukaan lahan besar-besaran membuat aliran air tersumbat dan muka air sungai meningkat hingga masuk ke rumah warga saat hujan deras,” jelasnya.
Ia menambahkan, upaya gotong royong membersihkan parit dan sungai sudah dilakukan, namun terbatas karena anggaran desa minim.
Pada tahun 2024, pengerukan sungai dengan dana APBD sempat dilakukan namun belum menyeluruh. “Kami berharap pengerukan lanjutan bisa mengurangi risiko banjir,” kata Marulian.
🏗️ Langkah Pemerintah Daerah dan Pusat
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat melalui Balai Wilayah Sungai Kalimantan menargetkan pengerukan Sungai Ambawang sepanjang 38 kilometer hingga tuntas pada awal 2025.
Menurut Sekretaris Daerah Provinsi Kalbar Harisson, langkah ini penting untuk meningkatkan kapasitas sungai menampung air dan mengalirkannya ke hilir, sehingga banjir tidak lagi melumpuhkan aktivitas warga.
“Banjir sebelumnya mengganggu arus transportasi dan aktivitas ekonomi masyarakat. Pengerukan ini diharapkan bisa mengurangi genangan di jalur utama,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan rekayasa cuaca dan perbaikan drainase untuk meminimalkan risiko banjir di daerah padat penduduk.
🛠️ Sinergi untuk Solusi Jangka Panjang
Bupati Kubu Raya Sujiwo menegaskan keterlibatan Kementerian PUPR sangat penting agar penanganan tidak hanya darurat tetapi juga solusi struktural jangka panjang.
“Jika tidak ditangani serius, banjir akan terus mengganggu mobilitas dan ekonomi masyarakat,” tegasnya.
Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Kalimantan juga telah melakukan langkah awal, seperti menutup lubang jalan, memperbaiki bahu jalan dengan geomet, dan meninggikan badan jalan di titik rawan banjir untuk memastikan akses transportasi tetap terjaga.
🌏 Harapan Masyarakat Adat
Masyarakat adat Binua Sunge Samak Kampokng Pancaroba berharap suara mereka menjadi perhatian utama dalam kebijakan penanggulangan bencana dan perlindungan lingkungan.
“Banjir ini bukan lagi musibah biasa, tapi peringatan bahwa alam kita rusak. Kami ingin pemerintah lebih serius melindungi hutan dan gambut,” ungkap Gulwadi.
Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, pusat, dan masyarakat adat, diharapkan ancaman banjir tahunan akibat perubahan iklim bisa ditekan, sehingga kehidupan warga kembali aman dan berkelanjutan.
Cek artikel dari platform terbaru di beritabumi.web.id
